MENJALA
MIMPI
Kini,
akulah penggenggam asa dan mimpiku. Aku yang menjadi nahkoda dalam hidupku. Aku
akan berani menanggung resiko setiap keputusan yang aku ambil.
Kata-kata
itu ku benamkan dalam-dalam di benakku. Bukankah setiap individu bertanggung jawab
atas dirinya sendiri.
Aku
adalah anak yang patuh. Setiap nasihat dan arahan yang diberikan orang tuaku
selalu aku jalankan.
Waktu
itu aku lulus SMP dengan nilai yang cukup bagus. Aku sudah berencana masuk SMU
favorit di daerahku. Walau bukan di kota besar, namun kualitasnya cukup bagus.
Namun, malam itu, ketika aku utarakan niatku, bapakku tidak setuju.
“Masuklah
ke SMK pelayaran. Masa depannya bagus. Kau lihat Wakijo, baru beberapa tahun
saja kau lihat, hidupnya telah berubah. Pamor bapaknya juga menanjak.” ucap
bapak dengan serius.
“Tapi,
Pak, kita kan belum tahu bagaimana pekerjaan yang sebenarnya di dunia pelayaran
itu. Kita hanya melihat dari gebyar-nya saja.” Aku mengutarakan keberatanku.
“Ya,
bapak juga tidak tahu pastinya, kan Bapak juga belum pernah kerja di
pelayaran.” Bapaku menjawab cuek.
“Makanya,
Pak, saya tidak mau…” kata-kataku terputus oleh ucapan Bapak.
“Kamu
harus mengubah kehidupan kita. Kamu anak mbareb,
Le. Adik-adikmu juga membutuhkan
biaya.” bapak meninggalkan ruang makan dengan langkah berat menuju biliknya.
Aku
tahu, keputusan bapak tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tak ada pilihan, karena
itu sudah menjadi keputusan. Keputusan sepihak, karena aku tak kuasa merubahnya!
Akhirnya
aku menjadi murid di SMK pelayaran. Karena sejak kecil aku lihai dalam
berenang, ditopang dengan bodi tubuhku yang kekar, aku dengan mudah lolos tes
masuk SMK Pelayaran.
MOS,
aku jalani dengan berat. Selain karena hatiku belum bulat, juga karena memang
berat rangkaian kegiatan MOS. MOS masih merupakan ajang penggojlogan di sekolah kami. Membawa beban berpuluh-puluh kilo di
tas gendongan sambil berjalan bermil-mil jauhnya.
Kami
juga diminta renang di sungai yang tentu saja dalam untuk semakin membuat kami
kuat. Itu kata panitia MOS. Capek, Letih, Lelah. Lahir Batin!
Lama-lama
aku juga menikmati. Lebih tepatnya aku berusaha bersahabat dengan keadaan. Aku
tetap harus berprestasi. Aku tidak boleh cengeng. Yang paling saya sukai adalah
kegiatan renang. Kami dibimbing langsung oleh angkatan laut. Dengan kedisiplinan
yang tinggi dan ilmu yang mumpuni, akhirnya segala macam gaya renang dapat aku
kuasai.
Tak
terasa, tiga tahun telah berlalu. Aku lulus. Telah kuterima ijazah.
Tibalah
saatnya aku untuk memulai sebuah pelayaran. Saatnya aku bekerja.
Mengaplikasikan ilmu yang telah aku dapatkan selama 3 tahun.
Ternyata
apa yang aku takutkan terjadi. Tadinya aku masih menenangkan diriku sendiri
bahwa cerita yang beredar santer
hanyalah bualan kakak kelas yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti kami. Namun
ternyata benar adanya.
Minuman
keras menjadi teman pelayaran. Sudah berbagai macam cacian aku temui, nanun aku
tetap berusaha tegar.
“Kamu
banci!”
“Dasar
sok alim!”
“Coba
saja sampai kapan mampu bertahan!”
Telingaku
sebetulnya cukup merah. Kalau tak ku ingat akhirat, aku tak takut dengan
ancaman mereka. Lama-lama aku menjadi tak punya teman. Bayangkan, di tengah
samudra luas, sepi, dan tak berteman. Sampai kapan aku bertahan?
Nyatanya
aku dapat bertahan sampai perahu merapat ke daratan lagi. Kembali hatiku merasa
tak nyaman. Apakah aku benar-benar kuat menanggung godaan pada
pelayaran-pelayaran berikutnya? YA Allah…
Bapak
benar. Banyak uang yang dapat ku raup. Hampir 5 kali gaji pegawai negeri guru.
Jumlah yang tidak sedikit. Pertama kalinya aku mempunyai uang segitu banyaknya.
Aku bertekad, untuk gaji pertamaku ini aku hanya mengambil sedikit bagian.
Ku
serahkan pada orang tuaku dan sisanya untuk adikku untuk mereka tabung.
Setidaknya jika aku ingin berhenti dari pelayaran ini untuk beberapa waktu
adik-adikku tak perlu pusing biaya sekolah.
Maklumlah,
Bapakku wiraswasta membuat tahu. Dikerjakan berdua dengan ibuku dan terkadang
dibantu aku atau adik-adikku. Tanpa pegawai agar menghebat biaya produksi.
Modal menjadi pengusaha tahu ini diperoleh dari gaji ibuku yang dulu pernah
menjadi TKW di Singapura. Setelah hamper separoh pendapatan digunakan untuk
memperbaiki rumah. Unrtunglah sisanya langsung dibelikan alat penggiling tahu,
jika tidak dapat ludes habis oleh biaya hidup sehari-hari..
Dengan
modal pengetahuan sewakku bapak menjadi kuli di produksi tahu di kota sebelah,
bapakku memulai usahanya. Benar-benar merintis dari nol. Semua dilakukan
sendiri. Dari membuat tahu, keliling rumah-rumah untuk menjual tahu, dan
sebagian diangkut ke pasar untuk
dipasarkanl ibuku. Hingga lambat laun usaha tahu menjadi cukup terkenal karena
enak dan berkualitas. Tak perlu lagi seperti dulu berangkat sebelum subuh dan
pulang hingga sore. Sudah banyak pedagang yang mendatangi rumah kami.
Ini
pelayaranku yang kedua. Hatiku belum juga merasa tenang, Kini yang aku takutkan
benar-benar terjadi. Pada suatu malam rupanya ABK kapal telah membuat makar.
Aku dicekoki minuman keras. Hatiku sakit. Sakit sekali. Hingga sejak malam itu
aku bertekad, aku tidak akan melakukan pelayaran lagi. Ini yang terakhir
kalinya.
Diam-diam
aku mendaftar kuliah. Ternyata dari SMK pelayaran sepertiku tak mudah dalam
mencari bangku perkuliahan. Karena bukan dari SMA, jadinya sulit sekali.
Akhirnya aku diterima di salah atu universitas swasta. Aku mengambil jurusan
pendidikan Bahasa Inggris. Aku menyukai bahasa Inggirs sejak di bangku SMP.
Terjadilah
dialog yang cukup menegangkan. Ku sampaikan semua yang telah ku alami. Tak
kusangka bapakku menyeka air mata dan aku mendapatkan restu untuk kuliah.
Dengan uang yang kudapat, ku bayar semua biaya pendaftaran dan kuperkirakan
hingga semester 3 aku masih mempunyai biaya kuliah.
Karena
kujalani dengan kebulatan hati dan kebahagiaan, tiga semester berjalan dengan
cepat. Alhamdulillah aku mendapat biaya siswa hingga dapat kugunakan untuk
biaya hidup di kos.
Aku
tertegun ketika aku tak lagi mempunyai uang untuk kuliahku di semester 4. Aku
memutuskan untuk cuti. Aku sadar, ketika cuti harus tetap belajar agar
pengetahuanku semakin bertambah. Aku juga sambil mencari pekerjaan sambilan
yang memang tak mudah mendapatkannya.
Ku
putuskan kursus Bahasa Inggris di Pare. Kebetulan Pakdheku ada yang tinggal di
daerah Kediri.
Aku
selalu merapal doa mudah-mudahan ada jalan keluar. Aku mencoba fokus dan total
dalam menjalankan kursus. Hinga datanglah pertolongan Allah. Tim pengajar
melihat kualitas bahasa Inggrisku bagus. Aku ditawari untuk mengajar di sebuah
kursus yang cukup bonafit. Tak henti-hentinya aku bersyukur. Walau dengan gaji
tak seberapa, yang penting aku tetap dapat mengikuti kursus-kursus yang ada di
Pare.
Terus
terang aku tak dapat banyak menabung. Setiap ada uang selalu kubelanjakan buku.
Aku harus mengumpulkan banyak buku hingga ketika kembali ke bangku perkuliahan
aku sudah mempunyai sedikit kekayaan. Buku.
Allah
Maha Penyayang, Maha Pembuka Jalan pada orang yang mau berusaha.
Dek, ada info beasiswa S1 ke oxford
university. Kalau berminat buka saja di annida online.com. Kamu juga dapat
mengirim cerita di situs itu. Lumayan untuk menambah uang saku.
Ku
baca sms dari kakak sepupuku dengan mata berbinar…Bismillah. Aku akan
mencobanya.
Tak
apalah aku rugi 3 semester. Eh, kuralat, bukan rugi, karena banyak ilmu yang
telah aku dapatkan. Maksudnya aku harus menambah waktu kuliah. Aku mulai dari
awal lagi.
Aku
mengabari orang tuaku. Sekarang ini mereka berdua menyerahkan keputusannya
padaku. Aku telah menunjukkan pada mereka bahwa aku akan bertanggung jawab atas
hidupku.
Aku
langsung sujud syukur begitu aku menginjakkan kaki pertama kalinya di Oxford University.
Tak
ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar