Selasa, 12 November 2013

Catatan Hati untuk Guruku

Catatan Hati untuk Guruku

Guru adalah nafasku. Ibuku, ayahku, bapak mertuaku adalah guru. Kalau pun sekarang aku adalah seorang guru, itu bukan karena desakan dari siapapun. Aku mencintai pekerjaan ini.

Ssst… Pak Guru Wahban memang bapakku.
Pak Wahban adalah guruku di sekolah Beliau adalah guruku di rumah. Aku bersekolah di tempat bapak mengajar. Namun aku baru “diajar” Pak Wahban –demikian murid-murid memanggil bapakku- ketika aku duduk di kelas 5 SD.
Semula, ketika murid-murid yang menjadi kakak kelasku mengatakan kalau Pak Wahban adalah guru favorid mereka, aku mengira mereka berkata demikian karena aku anaknya. Namun dugaanku ternyata sungguh melesat. Aku akhirnya tahu bahwa yang dikatakan teman-teman dan kakak kelasku benar adanya. Aku semakin mengagumi sosok Pak Wahban sebagai seorang guru maupun sebagai seorang ayah.
Di sekolah, aku tidak dijadikan anak emas. Aku masih ingat saat temanku pagi-pagi mendekatku untuk bertanya tentang suatu hal.
“Yet, bocorin, dong soal ulangan nanti.” Tanya Nana sembari merangkulku.
“Hah bocorin? Mana bisa?” aku berdalih.
“Halah pelit. Takut nilainya kesaing, ya?”
“Siapa juga yang takut..” ujarku pasang mimik serius.
“Lantas?” kejarnya.
“Aku sama sekali tidak tahu soalnya.”
“Kamu nggak nyoba tanya?” Nana semakin mendesakku.
“Bener, Na. Aku nggak tahu. Kalau tahu, sudah pasti kamu aku beri tahu. Kan kamu sahabatku.” jawabku sejujurnya.
Itulah Pak Wahban guruku. Adil kepada semua murid-murid. Tak jarang aku kena marah karena hobiku memang cerita lebih tepatnya ngobrol alis ramai di kelas ketika guru sedang mengajar. Namun ketika di rumah, justru bapak yang memintaku untuk cerita banyak hal. Aku dibiarkan cerita. Beliau akan menjadi pendengar yang baik.

Pak Wahban dapat memetakan kelebihan murid…
Pak Wahban juga cukup jeli dalam membidik murid-murid. Dalam waktu relatif singkat beliau tahu mana muridnya yang pintar menyanyi, mana yang lihai mengarang, mana yang jago matematika.
Walaupun mengajar semua mata pelajaran, aku tahu, Pak Wahban paling senang mengajar matematika. Dan parahnya, nilai matematikaku selalu dikalahkan Deni, temanku. Kalau aku matematika dapat delapan, Deni paling tidak Sembilan. Kalau nilaiku 9, Deni 10. Kalau aku 10, coba tebak, Deni nilainya berapa? Tidak tahu. Kenapa? Karena itu belum pernah terjadi..he..he...
Pak Wahban terlihat bangga dengan nilai Deni yang tinggi untuk EBTANAS di pelajaran matematika. Sebagai seorang Bapak, di rumah memperbincangkan nilaiku yang kalah dengan Deni kepada ibuku. Aku dongkol sekali. Lebih dongkol karena pada akhirnya ketika pengumuman EBTANAS, total nilai Deni lebih tinggi dari nilaku. Padahal sewaktu PRAEBTA aku tertinggi. Demikian pula sehari-hari, aku hampir dipastikan mendapat peringkat satu. Sebagai guru Pak Wahban bangga terhadap Deni. Sebagai seorang ayah, Bapak tetap ingin aku yang tertinggi.
Aku ingat sekali ketika pelajaran kesenian, selalu temanku Tri  yang disuruh maju pertama kali. Suara temanku yang satu itu memang serak-serak basah. Merdu sekali.
“Tri, cita-citamu besok jadi apa?” Tanya Pak Wahban usai Tri menyanyi.
“Jadi artis, Pak. He..he..” jawab Tri cengar-cengir.
“Suaramu memang bagus, Nak.”
Kontan Tri tersipu-sipu sangat senang. Untuk hal ini aku tidak iri. Aku cukup tahu diri karena aku memang tak bisa sehebat Tri dalam bernyanyi.

Pak Guru Wahban  di mata murid-muridnya…
Suatu hari teman SD-ku Nana, menulis di inbok facebookku. Dia bercerita:
“Ada suatu hari, Yet, di mana ,anak-anak pada mengantuk. Sudah menjadi kebiasaan Pak Wahban akan mendongeng cerita lucu kalau murid-murid beliau pada ngantuk dan bosan. Ada satu cerita dari beliau yang membuat aku berkesan dan aku menjadi berubah lebih baik.
Cerita tentang anak yang tidak pernah mau shalat, durhaka.kepada kedua orang tuanya. Orang tua anak itu sudah marah banget pada anaknya,sampai dia menarik telinganya,tiba-tiba telinganya berubah menjadi telinga kambing. Tahukah kamu, dari dogeng Pak Wahban tersebut, aku menjadi takut meninggalkan shalat dan  mulai tertib shalat lima waktu. Alhamdulilah berkat dongeng beliau membawa perubahan pada diriku,yang sebelum mendengar dongeng itu aku nggak pernah mau shalat, Yet,
Jadi malu sih sebetulnya, tapi memang itu kenyataan.. Memang dongeng itu betul-betl berkesan dalam memoriku. Padahal itu karangan Pak Wahban saja..he..he.”
Pak Wahban seorang yang sabar menghadapi kelakuan,kami. Sewaktu SD dulu sampai sekarang jasa-jasa beliau selalu aku kenang.
Suatu hari teman SD-ku yang lain, Tri, juga menulis di inbok facebookku. Dia bertutur:
 “Mempunyai guru yang lucu tentu menyenangkan. Yaah.. itulah guruku sewaktu SD. Setiap mengajar ada selingan-selingan yang bisa membuat murid-murid tertawa sehingga tidak mengantuk, terutama aku yang hobinya tidur di kelas. Beliau juga sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya. Kebetulan, anaknya menjadi murid dan sekelas denganku.
Setiap ayah pasti menginginkan nilai bagus diperoleh buah hatinya. ternyata keinginan itu terwujud karena hampir setiap catur wulan, anak -sekaligus temanku ini- mendapat rangking 1. Hingga ujian tiba, murid-murid tentunya sangat tegang menghadapinya. Tapi dengan jiwa yang momong, guruku mengajak muridnya untuk siap, berusaha, dan berdoa agar ujian bisa dilalui dengan baik. Akhirnya, sampailah kami saat pengumuman. Hasilnya cukup bagus. Murid-murid sebagian mendapat nilai tinggi, walaupun ada pula sebagian kecil rendah.
Sekarang guruku ini telah tiada. semoga jasa-jasanya akan tetap menjadi simpanan yang baik di akhirat kelak. Amin..”

Pak Wahban, guru yang unik…
Sepintas, Pak Wahban guru yang pendiam. Aku tahu ketika dulu aku masih sering duduk di kantor bersamanya. (duduk di kantor di sini dalam artian aku membuntut bapakku karena aku pulang menunggu bapak pulang). Tak banyak cakap yang tak perlu. Seperlunya saja. Lalu aku saksikan bapak menulis administrasi secara tertib. Atau di waktu yang lain lebih banyak membaca.
Humoris. Hampir tak ada kepenatan, bosan ataupun mengantuk ketika Pak Wahban mengajar. Sering terlontar dagelan-dagelan lucu. Lelucon beliau yang tidak dipaksakan mengalir begitu saja, membuat kami merasa lapang.
Tak jarang kami terhipnotis ketika Pak Wahban berubah menjadi dalang. Mendongeng kisah pewayangan. Kami yang bahkan tak tahu menahu tentang wayang akan menikmati ceritanya.
Suara beliau merdu ketika bernyanyi ataupun nembang. Di sela-sela mengajar tak jarang beliau bernyanyi. Lagunya berbagai macam. Antara lain tembang Jawa, lagu berjanjen (shalawatan), lagu barat, dan keroncong. Keroncong adalah lagu favorid beliau. Berkaitan dengan suranya yang merdu ini, Pak Wahban juga menjadi tim paduan suara guru-guru. Aku sering ikut ketika beliau latihan di pengdopo kantor dinas P dan K. Biasanya mendapat jatah suara ketiga yang tentu saja tidak mudah. Di sekolah, melatih grup paduan suara upacara bendera. Bahkan ketika perpisahan kelas, beliau juga yang melatih koor menyanyikan lagu Himne Guru.
Terlepas dari itu semua, sejujurnya kukatakan, wajah Pak Wahban juga ganteng. Kami semua merasa nyaman dibuatnya. He..he..

Pak Wahban guru yang pengertian…
Dulu, di sekolah kami ada anak yang sering tinggal kelas. Sebut saja Anto. Anto sering menjadi bahan ledekan karena wajahnya memang sudah tak pantas bagi anak usia SD. Biasanya yang meledek dengan parah adalah anak-anak SMA yang kebetulan gedungnya terletak tepat di belakang gedung sekolah kami.
Alhasil, sempat mogok sekolah. Ibunya menangis-nangis menemui Pak Wahban, mohon agar membujuk Anto untuk mau sekolah lagi. Singkat cerita Anto berangkat sekolah. Namun?
Olala…ternyata Anto tak mau memakai celana SD. Dia mengenakan celana jeans. Pak Wahban memperbolehkan asalkan kalau di dalam kelas celana jeansnya dilepas, menggunakan celana seragam SD. Kalau pulang pergi tidak masalah. Dan sebelum Anto kembali masuk sekolah lagi, Pak Wahban sudah mewanti-wanti kami sekelas agar tidak membicarakan tentang keanehan Anto dalam berpakaian. Jujur, kami sempat tidak sepakat. Sebenarnya kami “cukup senang” dengan ketidak hadiran Anto, karena anak itu sering membuat ulah, hingga salah satu di antara kami menangis.
Kami bahkan sempat mengira Anto menjadi anak emas karena hampir tidak pernah dimarahi. Namun sebuah pendekatan yang luar biasa sehingga Anto yang terkenal badng, dengan Pak Wahman manut.
Bertahun-tahun kemudian aku mendapat cerita bahwa akhirnya Anto mendapat ijazah SMU. Kami semua bersyukur karenanya.


 Pak Wahban guru yang tahu berterima kasih…
Suatu hari di bulan puasa, saat matahari bersinar dengan teriknya, pintu rumah kami ada yang mengetuk dari luar. Ini untuk yang kedua kali dalam satu jam belakangan. Ketika pintu dibuka, tampak wajah-wajah kakak kelasku yang merah karena kepanasan dan letih karena berjalan jauh.
Mereka mengabarkan bahwa ada salah seorang murid yang meninggal dunia. Jawaban Pak Wahban sungguh mengalirkan hawa sejuk.
Yo, tak tompo kabar seko kowe, Le. Matur nuwun banget. Terima kasih sekali atas kabar yang kalian sampaikan. Kalian sudah kepanasan dan jauh-jauh datang ke mari.”
Padahal aku tahu, sebelum mereka –kakak-kakak kelasku- datang, Pak Wahban sudah dikabari guru lain. Yang datang lebih dulu. Tentu saja, karena teman guru yang memberi kabar mengendarai sepeda motor.

Pak Wahban, guru yang iklas, sabar, dan penyayang…
Aku masih ingat rutinitas ini. Tentang kehidupan seorang guru. Gaji guru yang kadang tak mencukupi untuk hidup satu bulan. Lalu tentang beras kupon yang diterima ketika awal bulan. Pak Wahban mengecek bagaimana keadaan beras kupon. Kalau masih laik untuk dikonsumsi, beras tersebut di bawa pulang. Namun kalau berasnya tidak layak, beliau menukarkan beras tersebut dengan beras yang lebih baik. Tentu saja beratnya menjadi lebih sedikit.
Tidak ada motor. Pak Wahban naik sepeda menuju tempat mengajar. Sepeda sederhana. Sepeda jengki. Setiap hari. Aku dan ibuku menjadi penumpang setia. Aku dan bapak turun di gerbang SD, sementara sepeda itu akan terus melaju dinaiki ibuku menuju tempat beliau mengajar, yang masih selisih 3 km.
Pak Wahban sangat disayang murid-murid. Saat itu aku masih ingat.  Hari di mana banyak tangan-tangan kecil tengadah, berdoa, di sebuah kamar di rumah sakit. Saat Pak Wahban terbaring karena kecelakaan. Sepeda yang dinaiki tersurung colt hingga jatuh dan kepala membentur semen cagak tiang bendera.

Pak Wahban mengajarkan kedisiplinan tanpa kekerasan, memberi masukan tanpa mencela…
Beliau disiplin dalam mengajar. Ketika beliau  sedang menerangkan, kami harus mengikuti jalannya pembelajaran. Ini semacam kontrak belajar. Jadi ketika beliau sedang menerangkan tidak ada yang mencatat. Cukup menyimak dengan seksama. Kalau ada yang menanggapi ataupun bertanya tentu diperkenankan. Kalaupun ada yang ramai, cukup ditegur secara lisan, kami sudah tahu diri. Tak ada kekerasan. Tak ada pukulan kayu, tak ada penghapus yang melayang, dan tak ada bentakan.
Sementara, guru lain ada yang tak pernah lepas dari ranting kayu, atas nama ketertiban dan kedisiplinan.
Suatu hari, tanpa sengaja aku melihat salah seorang guru yang sedang marah-marah pada pesuruh di sekolah kami. Apa sebab? Dari pembicaraan yang aku tangkap karena gelas yang biasa untuk minum para guru kurang bersih katanya.
Saat itu Pak Wahban datang.
Mbok sampun, Pak.”
Lalu saat teman guru itu pergi, Pak Wahban berkata lirih pada Pak Pesuruh.
“Nggak, papa. Jangan dimasukkan hati.Kali lain coba dicuci lagi lebih bersih, ya, Pak. ” Pak Pesuruh mengangguk dengan tatapan mata terharu.
Hanya ucapan singkat itu kiranya telah membuat lebih baik. Pak Wahban memang tidak pernah membeda-bedakan statu seseorang. Bapak pesuruh di sekolahku dekat dengan beliau. Tidak pernah aku lihat berkata kasar atau dengan nada merendahkan.

Pak Wahban di bulan April tahun 2000, pada usia 50 tahun…
Kulihat wajah anak-anak yang khusyuk melaksanakan shalat jenazah, berhimpit dalam shaff dan barisan yang memanjang untuk guru kami, Pak Wahban… Selamat jalan, semoga ilmu yang bermanfaat dapat menemani beliau di alam kubur. Menjadi amal jariyah. Amin. Kami semua merasa kehilangan…
Ku saksikan lautan manusia melayat. Ada sanak saudara, handai taulan, teman guru, kenalan,  murid, mantan murid. Tak putus-putus menshalatkan beliau. Hingga beberapa hari setelah dimakamkan, masih banyak yang datang takzizah. Subhanallah. Bahkan ku dengar cerita dari temanku, di ruang guru piket SMU-ku cukup gaduh. Karena banyak yang minta izin untuk melayat mantan gurunya, Pak Wahban. Memang banyak alumni SD-ku bersekolah di SMU tempat aku sekolah. Saat itu aku duduk di kelas 1 SMU…






Tidak ada komentar:

Posting Komentar