Selasa, 12 November 2013

Tentang Fatih

(Untuk Fatih, bacanya kalau udah bisa baca aja ya…:-))

Suatu saat di ruang periksa dokter kandungan langganan saya. Usai memeriksa, saya pun memasuki sesi konsultasi.
“Anak pertama laki-laki atau perempuan, Bu?” tanya dokter.
“Perempuan,” jawab saya.
“Wah, selamat, udah lengkap nih. Janin Ibu laki-laki.” ucap dokter tersebut tanpa saya minta menyebutkan jenis kelamin.
Senang? pasti dong. Manusiawi bukan? Walaupun bagi kami mengetahui jenis kelamin bayi bukanlah sebuah prioritas. Karena apapun jenis kelaminnya itu amanah dari Allah, bukan?
Minggu demi minggu terlewati. Seperti halnya pada kehamilan anak pertama, kehamilan anak kedua ini pun saya mesti "jatuh bangun" di awal-awal kehamilan.
Lalu datanglan panggilan untuk mengikuti diklat Prajabatan. Setelah memastikan kondisi saya dan janin saya sehat, saya pun melenggang ke Semarang. Masa prajabatan tak perlu diceritakan (biasalah di sana full kegiatan dan capek. Yang pasti bagi ib-ibu hamil dapat dispensasai duduk pas apel hehe).
Pulang prajabatan kami periksa lagi. Kondisi janin sehat, tapi…. letaknya! Kepala di atas. Sehingga disarankan memperbanyak sujud dan sebagainya.
Semakin mendekati hari H cek lagi… kondisi masih sama. Sehingga dokter menyarankan sesuatu yang amat saya takutkan, yaitu sesar!
Sebetulnya bukan sesar itu sendiri yang saya takutkan. Tapi lebih pada kesiapan kami. Jauh dari sanak saudara (ga jauh-jauh amat sih sebetulnya) tapi yang jelas kami hidup terpisah dan anak pertama saya juga masih batita. Selain itu juga mestinya biaya mahal kan?
Oke, kami lalu mencari second opini dari dokter kandungan lain. Jawabannya ternyata oh ternyata sama! Apa boleh buat, saya harus mendatangi RS tempat yang dituju untuk operasi sesar nanti, di sebuah Rumah Sakit di Jogja yang dikelilingi kampus  (tahu kan RS mana?:-) ).
Saya akan dieksekusi, eh, maksud saya akan disesar pada minggu pertama bulan Maret. Namun kalau sebelum tanggal yang ditetapkan mulas-mulas, harus segera ke RS. Tidak boleh di bidan karena posisi “sungsang”.
Dini hari di penghujung Februari saya merasakan tanda-tanda hendak melahirkan. Saya tunggu subuh untuk kemudian segera ke rumah sakit. Kenapa mesti nunggu subuh? Nggak enak-kan menetuk pintu tetangga -walaupun itu yang momong anak pertama saya- di pagi buta?
Maka pagi itu, setelah menitipkan Kakak Fathina ke tetangga, melajulah kendaraan kami membelah rintik hujan.
Sampai rumah sakit langsung masuk IGD. DI sana diobservasi. Lalu hal menarik terjadi. Saat itu dokter kandungan yang jaga perempuan, masih muda, dan terlihat pintar.
Sambil meng-USG dokter itu mengajak saya ngobrol-ngobrol yang intinya bagaimana kalau dicoba melahirkan normal. Dengan pertimbangan Bayi anak saya yang pertama beratnya 3,2 kg. Nah anak kedua ini diprediksi Cuma 2,8 kg. Mestinya bisa mudah lairan biasa. Walaupun tetap dengan resiko karena sungsang. Saya pun melihat secercah harapan untuk melahirkan normal.
Bismillah, setelah menandatangai semacam surat perjanjian jikalau terjadi “apa-apa” RS tidak bertanggung jawab, saya dibawa ke gedung terpadu untuk melahirkan karena tak lama lagi, prediksi dokter tersebut akan segera lahir.
Di ruang eksekusi kembali dokter tersebut mengingatkan saya bahwa semua mungkin akan ada resikonya. (hal mana sejujurnya itu membuat saya panik) Namun dengan sumi yang senanntiasa di samping saya, saya sudah yakin dan pasrah. Allah pasti menolong kami.
Singkat cerita, pada jam 7 hari Senin tanggal 28 Februari 2011 pagi anak kedua saya lahir, laki-laki, dengan berat 2,8 kg. Alhamdulillah langsung IMD.
Proses yang cepat sekali bukan? bahkan teman-teman sekantor saya kaget karena sehari sebelumnya, hari Minggu, saya masih mengikuti pengajian SAMARA yang diadakan di rumah Kepala Sekolah saya. Lalu ibu-ibu tetangga juga heran, karena minggu sore masih naik kereta kelinci.
Yang lebih mengejutkan lagi berita bahwa saya melahirkan normal, tidak jadi sesar. Dialah Muhammad Fatih. Begitulah, kalau Allah berkehendak, tak ada yang mustahil. Keajaiban doa itu selalu ada.
Nambah catatan: untuk teman-teman Prajab, terima kasih telah menemani hari-hari saya di sana. Hari-hari yang penuh kerinduan pada anak pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar